Maskapai penerbangan milik negara Merpati Nusantara Airlines bisa terbang kembali dengan potensi yang masih dimiliki dan ketegasan dari pemerintah untuk menghidupkan kembali perusahaan itu.
“Masih bisa dihidupkan asalkan ada ketegasan pemerintah, karena sahamnya ini ada di Kementerian BUMN,” kata pengamat penerbangan Samudra Sukardi dalam diskusi bertajuk Tinjauan Industri Penerbangan di Indonesia terkait dengan Karut Marut Penerbangan Penerbangan Nasional, Rabu (21/1/2015).
Samudra mengatakan untuk menerbangkan kembali maskapai pelat merah tersebut, diperlukan investor untuk modal awal, karena selama ini Merpati terus merugi hingga menanggung utang senilai Rp7 triliun, padahal aset yang dimiliki jika dilikuidasi hanya sekitar Rp2,6 triliun.
“Kalau ditenderkan paling laku juga Rp1 triliun, karena ada ‘maintenance dan training’ (perawatan dan pelatihan),” ujarnya.
Untuk itu, dia menawarkan solusi kepada pemerintah untuk membekukan terlebih dahulu utang tersebut, misalkan, dalam jangka waktu lima tahun, agar Merpati bisa hidup kembali, kemudian pembayaran dicicil dalam jangka waktu 20 tahun.
“Mau tidak mau utang tersebut harus dibayar oleh pemerintah, lebih baik seperti itu ‘freeze’ (bekukan) dulu utangnya, daripada sekarang (biarkan mati suri), tapi dibayar tidak, penghasilan pun tidak ada,” tukasnya.
Samudra juga mengusulkan agar kepemilikian saham diserahkan kepada pemerintah daerah, karena dinilai tertarik dalam memiliki maskapai seiring dengan pertumbuhan ekonomi di daerah. Menurut dia, sejumlah pemda setuju dengan kepemilikan saham Merpati melalui skema BUMN Holding, karena maskapai yang merambah “remote area” masih dibutuhkan.
“Dari 34 provinsi, beberapa pemda dan DPD sudah setuju, misalkan, ‘Kaltim Air operated by Merpati’, mereka segera mendanai perusahaan ini, pesawatnya bisa kita carikan, krunya semua bisa jalan, mereka merasa perlu karena itu adalah jembatan udara bagi mereka,” tuturnya.
Dengan demikian, lanjut dia, arus pendapatan atau (“revenue stream”) akan terus mengalir untuk menutupi utang tersebut.
“Selama puluhan tahun kalap terus, kalau tidak memikirkan ke depannya ya sudah buat maskapai baru saja, tidak habis sampai 20 juta dolar AS, itu sudah punya 10 pesawat,” ucapnya.
Meskipun, saat ini Merpati bersaing dengan Susi Air atau pun Citilink, namun ia menilai Merpati masih memiliki potensi, selain aset berwujud (tangible) senilai Rp2,6 triliun, yakni aset tak berwujud berupa “air operation certificate” (AOC) yang masih berlaku hingga Februari 2015, dan masih bisa diperpanjang serta izin rute ke seluruh daerah. Samudra menuturkan dampak jika tidak dilakukan penyelamatan Merpati, di antaranya kesulitan dalam mendirikan penerbangan PSO, transportasi udara perintis untuk mempertahankan NKRI akan menghilang dan kesulitan dalam menyusun struktur organisasi udara perintis.
Selain itu, dia menambahkan, potensi sosial ekonomi regional kemungkinan tidak berkembang karena dominasi penerbangan swasta, investasi berjalan sendiri-sendiri setiap tiap pemda untuk kepentingan berbeda serta pemerintah terus membayar utang Merpati. Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia (Inaca) Tengku Burhanuddin mengatakan harus ada kejelasan dari pemegang saham, yakni pemerintah.
“Pemegang saham harus bisa mengambil keputusan, mau dihidupkan atau dimatikan, kalau dimatikan tanggung jawab ke karyawannya harus diperhatikan, jangan diombang-ambing seperti ombak,” tegasnya.
Menurut dia, penerbangan perintis yang dilayani Merpati masih diperlukan di berbagai daerah selama kesempatan bisnis penerbangan masih terbuka.
“Kalau sudah tidak ada lagi yang mau buat bisnis penerbangan itu baru kesempatannya sudah tidak berpotensi,” tambahnya.
Sumber: infopenerbangan.com
Jumat, 23 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar